GURU SEJATI ?
PEMBELAJAR SEJATI.
MENGABDI UNTUK
NEGERI.
“Hanya ilmu dari
hatilah, yang akan sampai di hati anak-anak didiknya”
Mari Belajar, Mari
Berbenah J
WIDADATUS SA’ADAH
Kutuliskan,
pagi itu menatap langit seperti kanvas yang ditumpahi cat biru diselingi
arak-arakan awan semurni kapas. Langkah kakiku bersemangat untuk mengikuti
kelas mata kuliah Psikolgi Pendidikan yang di ampu oleh Bu Cicik Tri Jayanti,
S.Pd. MA.
Hari
itu tanggal 30 Oktober 2017 seperti biasa, perempuan dengan kerudung coklatnya
yang manis, dihiasi senyum hangat dibibirnya. Ia memberikan pengantar yang
menyentuh akal dan nurani. Benar! kata-katanya selalu mengundang, melayani dengan kasih sayang dan tak henti
memberikan inspirasi dan menumbuhkan motivasi dalam diriku.
“SIKOEDUKASI”
tuturnya. Sikoedukasi adalah jalinan antara pendidik dan peserta didik dengan
empati. Jadi, pembelajaran di sekolah dirancang sedemikian rupa untuk
menumbuhkan kepedulian.
Beliau
bercerita tentang guru di Nusa Tenggara yang setiap paginya harus bangun pagi
dan memasak untuk murid-muridnya. Hal itu dilakukan sendiri dengan uang pribadi
mereka. Jadi, sebelum anak-anak masuk dalam kelas, guru menyuapi siswa-siswanya
satu persatu. Meski hanya satu suapan, saya membayangkan bagaimana ketika saya
menjadi anak-anak itu, begitu nyata sosok guru dalam hidup saya. Sederhananya,
karena guru berfikir, jika murid mereka lapar mereka tidak akan mungkin dapat belajar
dengan baik. Tak hanya itu disana juga guru membersihkan ingus siswa-siswanya.
Jujur mengimajinasikan cerita tersebut, saya sedikit merinding sekaligus geli
mendengarnya.
Tapi
itulah guru yang dibutuhkan saat ini. Seorang guru yang berdedikasi, memiliki
cinta, semangat, tanggung jawab dan kasih sayang kepada siswa-siswanya. Karena
sejatinya, guru bukan semata-semata suatu pekerjaan yang membutuhkan ijazah,
tetapi relasi hati.
Mari
kita bayangkan, jika kita menjadi anak-anak itu. Bagaimana guru adalah sosok
nyata dalam hidup kita. Bagaimana tidak? Ketika orang tua disana, mungkin tidak
berfikir tentang perut anak-anak mereka yang lapar, ingus yang masih segar,
kuku yang mulai panjang, pakaian yang lusuh. Guru hadir dan berjuang untuk
memberikan itu semua.
Satu
hal lagi, guru disana selalu memberikan hadiah atau apresiasi kepada siswa
mereka yang sudah bisa datang rapi ke sekolah. Hadiah itu beragam bentuknya.
Dari yang begitu sederhana, seperti sebuah senyuman hangat dan pujian, yang
saya yakin itu akan melekat pada hati anak-anak itu.
Sebagai
penutup pengantar pagi itu, beliau
berpesan “Buatlah hal yang berkesan dalam hati muridmu. Mengajarlah dengan
hati, sampaikan dengan hati, karena ilmu yang sumbernya dari hati yang akan
sampai ke hati”.
Kawan, saat ini ketika kita menjatuhkan pilihan untuk
terjun dalam dunia pendidikan. Mencalonkan diri sebagai investasi terbesar
untuk negeri ini. Iya, Asep Sapa’at seorang aktivis guru di Indonesia berujar
bahwa guru adalah investasi untuk negeri dan aset terbesar untuk masa depan Indonesia. Kita adalah
investor, inovator dan pemeran intelektual yang harus mampu melestarikan
nilai-nilai baik untuk membangun pendidikan yang humanis. Memanusiakan manusia,
menjadikan manusia sadar akan kemanusiannya sehingga mampu menjadi manusia yang
otentik.
Sejauh
ini apa yang sudah kita siapkan? Benarkah kita benar-benar ingin menjadi seorang
guru? Sebaik apapun manajemen pendidikan
yang dilakukan, semegah apapun gedung sekolah, dan sebaik apapun kurikulum.
Jika gurunya tidak cinta, tidak berdedikasi, maka pendidikan yang humanis
hanyalah angan-angan yang kosong.
Mari
kita renungkan setiap kalimat yang saya kutip dari Kang Asep. Dalam bukunya ia
menulis “ Kita tidak pernah
mencermati secara serius, perubahan apa yang sudah terjadi pada anak-anak kita
melalui kegitan pendidikan? Jangan-jangan pendidikan malah membuat anak-anak
kita jadi tak punya jati diri, kehilangan arah, cerdas tapi tak berahlak, dan
tak paham untuk apa mereka menuntut ilmu. Koruptor terdidik semakin bnayak,
orang cerdas Indonesia berani jual asset Negara, budaya menyontek di sekolah
dibiarkan, harga diri dan kehormatan guru masih dilecehkan, mahasiswa makin
doyan tawuran daripada lakukan debat ilmiah di kampus mereka, korupsi dana
bantuan operasional sekolah masih meramaikan berita-berita di media masa,
menyertai hadirnya pendidikan karakter di bumi pertiwi. Jika ujung-ujungnya hanya
sekedar tahu teori tentang karakter, situasi carut marut masih tetap akan
berlangsung. Sekali lagi, dunia pendidikan takkan mampu memberikan kontribusi
pada bangsa ini untuk keluar dari keterpurukan”
Gordie Howe “Berhentilah menjadi guru, jika tidak
mencintai tugas mulia itu. Berikan kesempatan kepada orang yang lebih
mencintainya”. Saat menjatuhkan diri menjadi seorang guru, maka jatuhkanlah
sejatuh-jatuhnya dengan cinta dan kasih sayang. Jadilah guru yang baik atau
tidak sama sekali. Cintailah apa yang kita hadapi, dan hadapilah apa yang kita
cintai. Bersukur dan Ikhlas, YAKIN USAHA SAMPAI, MAN JADDA WAJADA.
Rujukan: Sapa’at, Asep. 2012. “STOP Menjadi GURU”.
Jakarta: Tangga Pustaka.
Komentar
Posting Komentar