Langsung ke konten utama

HMI DAN PENDIDIKAN

MANUSIA, PENDIDIKAN, DAN HMI
Karya Fathor Rahman

            Manusia disebut sebagai Homo Sapiens memberikan pemahaman tentang hakikat manusia sebagai makhluk yang bijaksana dan dapat berpikir. Hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi dan mulia. Hal tersebut dikarenakan manusia memiliki akal, pikiran, daya nalar, cipta, karya, karsa, dan rasa, yang mampu mengembangkan diri sebagai manusia seutuhnya. Oleh sebab itu manusia memerlukan pendidikan sebagai wujud usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya untuk menjadi manusia seutuhnya dalam menjalani kehidupan sejak manusia dilahirkan di dunia sampai manusia meninggal. Sebab tujuan umum pendidikan ialah memanusiakan manusia (humanisme).
            Manusia juga dilengkapi dengan pembawaan masing-masing yang melekat pada diri individu manusia. Seperti kemampuan berbahasa, cipta, karya, karsa, rasa, serta bakat lainnya. Pembawaan tersebut mengindikasikan bahwa manusia memiliki keberagaman individu yang membuatnya istimewa apabila manusia mampu mengembangkannya. Oleh sebab itu, maka perlu adanya lingkungan yang dibentuk secara sadar guna mengemabangkan segala potensi yang dimiki oleh tiap manusia. Usaha sadar tersebut dapat dilaksanakan melalui pendidikan.
Penjelasan di atas juga sejalan dengan aliran klasik pendidikan, yaitu aliran Konvergensi. Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pedidikan berkebangsaan jerman. Teori ini adalah perpaduan atu gabungan daru teori Nativisme dan Empirisme. Artinya, teori ini berpendapat bahwa bahwa manusia yang  baru lahir sudah mempunyai pembawan yang baik ataupun buruk dan pengalaman merupakan sebuah pertolongan terhadap pembawaan tersebut. Faktor pembawaan dan faktor sama-sama mempunyai peranan yang penting dalam teori ini, keduanya tidak dapat dipisah seperti teori Empirisme yang hanya mementingkan peranan lingkungan saja. Bakat yang dibawa manusia sejak lahir tidak akan mampu berkembang tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan kemampuan dan bakat atas pembawaan manusia. Sebaliknya, lingkungan yang yang memadai tidak dapat mendukung terhadap perkembangan manusia tanpa adanya bakat yang dimiliki oleh manusi, dengan kata lain semua itu hanya akan sia-sia. Sebagai contoh, adalah hakikat kemampuan anak manusia berbahasa merupakan hasil dari teori konvergensi. Pada setiap anak manusia sejatinya sudah dibekali pembawaan dalam kemampuan berbahasa dengan kata-kata. Oleh sebab itu, maka manusia perlu dididik secara sadar oleh lingkungannya, baik dari keluarga, lingkungan bermain, ataupun lingkungan pendidikan.
Selain itu, manusia juga perlu mendidik diri. Tirtarahardja dan Sulo (2008: 4) menjelaskan bahwa Kaum Rasionalis  menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan adalah pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki manusia. Berkat adanya menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya memiliki cirri khas dibandingkan dengan manusia lainnya. Bukan hanya itu, Kaum Rasionalis juga berpendapat bahwa manusia juga mampu membuat jarak atau distansi dengan lingkungannya. Kemampuan membuat distansi tersebut berarah ke dalam dan ke arah ke luar. Dengan memandang ke arah kedalam manusia mengilustrasikan lingkungan sebagai subjek dan ‘diri’  sebagai objek. Dengan memandang ke arah keluar manusia menempatnya lingkungan sebagai objek dan ‘diri’  sebagai subjek.
Dengan demikian, manusia mampu mengembangkan dan mengoptimalkan daya pikirnya guna mengevaluasi dan menyugesti diri menuju masa depan yang lebih baik. Dengan kata lain, pembinaan manusia ke arah luar merupakan aspek sosialitas, sedangkan pembinaan kea rah dalam merupakan aspek individualitas. Hal tersebut merupakan salah satu wujud sifat hakikat manusia yang memerlukan pendidikan dan bertanggungjawab untuk ikut serta menjalankan pendidikan.
Untuk lebih memantapkan predikat manusia sebagai insan pendidikan adalah dengan konsep dimensi hakikat manusia serta potensi, keunikan, dan dinamikanya. Pertama, dimensi keindividualan. Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatau yang merupakan keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi atau in devide. Setiap anak yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dengan individu lain. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran M.J Langeveld (1955) seorang pakar pendidikan tersohor di negeri belanda, yang mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki individualitas. Kedua, dimensi kosialan. “Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas”, demikian yang diungkapkan oleh M.J Langeveld. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang secara hakikat di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Berkaitan dengan dimensi sebelumnya, bahwa manusia dapat mengembangkan potensi individualitasnya di dalam pergaulan sosial. Ketiga, dimensi kesusilaan. Dimensi ini memuat arti tentang persoalan kepantasan, kesopanan, dan kebaikan. Konsep tersebut dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban manusia dalam menjalani kehidupannya. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila serta melaksanakannya, sehingga dikatakan manusia adalah makhluk susila. Drijakara (1978) mengartikan manusia susila sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam bentuk perbuatan. Keempat, dimensi keberagamaan. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yang religius. Tirtarahardja (2008: 23) menjelaskan bahwa dulu sebelum manusia mengenal agama, manusia meyakini bahwa diluar kemampuan pancainderanya terdapat kekuatan supranatural yang mengendalikan semua kehidupan di alam semesta. Untuk dapat mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut, makan manusia menciptakan kepercayaan berupa mitos-mitos. Kemudian setelah ada agama, manusia mulai menganutnya.
Berangkat dari kenyataan dimensi tersebut, maka manusia pada hakikatnya memerlukan suatu ilmu yang dapat membimbing dan membinanya ke arah yang sesuai dan benar serta memecahkan persoalan yang ada. Maka, hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui proses pendidikan. Pendidikan akan mendidiknya menuju tujuan yang dicita-citakan yaitu menjadi manusia seutuhnya berdasarnya hakikat dasarnya dan membangun peradabannya kea rah yang lebih baik. Manusia pula akan menjaga keberlangsungan pendidikan untuk ditransformasikan pada generasi penerus guna mempertahankan dan memajukan peradabannya.
            Seperti yang telah dijelaskan sebelumya, bahwa manusia dapat dididik, perlu dididik, dan perlu mendidik diri. Ketiga aspek tersebut harus terpenuhi untuk mencapai taraf kemanusiaan yang hakiki. Artinya, manusia dengan segala potensi yang ada mengindikasikan bahwa manusia dapat dididik. Pendidikan dapat diperoleh melalui lingkungan keluarga, bermain, sekolah, maupun organisasi. Sebagai contoh, manusia dapat menempatkan dirinya dalam suatu kelompok masyarakat yang terstruktur dan memiliki tujua bersama yang disebut organisasi. Dalam hal ini Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hadir dalam bentuk organisasi pengkaderan yang didalamnya memuat unsur pendidikan. Anggota atau kader HMI dalam proses berorganisasinya akan dididik untuk mampu mengembangkan segala potensi kemanusiaan yang ada guna mencapai predikat sebagai Insan Kamil. Sesuai dengan visi yang diemban HMI, “Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi, yang Bernafaskan Islam serta Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang Diridhoi Allah SWT. 
            Visi tersebut mendukung untuk mengembangkan dan mengoptimalkan dimensi kemanusiaan yang ada. Sebagai contoh, HMI dengan visinya memanfaatkan dimensi keindividualan manusia yang dilengkapi dengan intelegensi yang tercantum dalam poin “Akademis, Pencipta, Pengabdi” sesuai dengan karakteristik masing-masing individu manusia (kader HMI). Kedua, pada dimensi kesosialan, HMI hadir sebagai sebuah organisasi untuk dapat dimanfaatkan oleh kadernya sebagai media menjalin komunikasi, dan saling memberi – menerima ilmu dan pengetahuan dengan manusia lainnya guna mewujudkan diri kader menjadi manusia yang utuh. Sebab, manusia dapat mengembangkan potensinya individualitasnya dalam pergaulan sosial. Ketiga, pada dimensi kesusilaan, HMI memiliki ideologi yang sejalan dengan norma dan nilai yang ada dalam bentuk nilai heteronom (kebaikan menurut kelompok) yang berlandaskan pada nilai keagamaan (nilai yang berasal dari Tuhan) yaitu Islam. HMI menganut asas kebangsaan dan keislaman memuat nilai-nilai keislaman yang sejalan dengan berlakunya nilai dalam kehiduan berbangsa dan bernegara. Keempat, pada dimensi keberagamaan, HMI hadir dengan menjunjung tinggi Islam sebagai wujud pemenuhan hakikat manusia yang beragama. HMI dengan pola pengkaderannya, mentransformasikan pesan-pesan agama yang disalurkan melalui hati ke hati yang terpancar dari ketulusan serta kesungguhan hati. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Ph. Kohnstamm.
            Bukan hanya itu,  Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) turut hadir sebagai manifestasi pengembang bibit potensi “Pancadaya” yang ada pada diri manusia, yaitu daya, taqwa, daya cipta, daya karya, daya rasa, dan daya karsa. Sebagai contoh, pertama, kader HMI dengan asas keislamannya dituntut untuk memeluk agama Islam dengan segenap hati serta menjalankan pertintahNya dan menjauhi laranganNya secara ikhlas. Hal tersebut sebagai wujud manifestasi “Daya Taqwa”. Kedua, kader HMI dibina untuk mampu menghasilkan produk-produk nyata yang secara langsung dapat digunakan baik oleh dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Selain itu, kader HMI dibina agar mampu mengimplementasikan pengetahuannya dalam wujud pengabdian, karena dalam salah mission HMI adalah “Insan Pencipta, dan Insan Pengabdi”. Hal tersebut sebagai wujud manifestasi “Daya Cipta dan Daya Karya”. Ketiga, HMI membina kadernya agar mampu menggunakan emosional secara baik agar mampu menyikapi segala persoalan dengan segenap hati sesuai dengan asa keislaman dan kebangsaan yang digunakan. Hal tersebut sebagai wujud manifestasi “Daya Rasa”. Keempat, kader HMI dibina agar mampu mengoptimalkan kekuatan yang mendorong individu untuk secara tanggap melakukan sesuatu ataupun memecahkan persoalan yang ada. Pemahaman itu disebut juga sebagai Psikomotorik. Kader HMI dibina agar mampu bergerak secara kreatif, inovatif, kritis, sistematis, dan dinamis dari satu posisi ke posisi yang lain. Hal tersebut sebagai wujud manifestasi “Daya Karsa” yang tertanam dalam diri seorang manusia.

            Dari semua penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Manusia belum selesai menjadi manusia. Ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia. Untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan. Pada sisi lain; Manusia, Pendidikan, dan HMI memiliki keselarasan. Manusia memerlukan pendidikan sebagai usaha pengembangan potensi yang dimiliki agar mampu menjadi manusia seutuhnya. HMI hadir dengan sistem pengkaderan yang relevan dan tidak bertolak belakang dengan konsep kemanusiaan, nilai-nilai keislaman, dan nilai-nilai kebangsaan. HMI sebagai wadah bagi manusia untuk menjalankan pendidikan guna mewujudkan potensi manusia secara ideal menuju manusia sempurna di mata orang lain dan di sisi Sang Pencipta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEREMPUAN

DZIKIR KUNCI BAGI PEREMPUAN MODERN UNTUK MENGEMBANGKAN KECERDASAN INTELEKTUAL,EMOSIONAL,DAN SPIRITUAL DALAM MENGHADAPI KEMAJUAN DUNIA     OLEH ONII VIDI ASIIH KORP HMI-WATI(KOHATI) HMI CABANG BANGKALAN TAHUN 2016-2017 DAFTAR ISI Daftar isi      …………………………………………………………….      i Kata pengantar       …………………………………………………....    ii BAB I PENDAHULUAN       ……………………………………………    1 1.1 latar belakang    ……………………………………………………      1 1.2 tujuan makalh    ……………………………………………………      2 1.3 rumusan masalah         ……………………………………..……………..    2 BAB II PEMBAHASAN        ……………………………………………    3 2.1 pengertian dzikir  ...

Celoteh pena puisi

PETUAH LAUTAN Fathor Rahman Nak, tidak ada dongeng sebelum tidur seindah kidung angin yang dicumbu bentang layarmu bila badai menelanjangi setiap musim, binglala masih melingkari purnama malam ini angin tidak akan kemana ia hanya singgah diwajah bintang yang membuatnya berkedip sayu merayu buih ‘tuk bergegas mengabari pantai karena jika karang telah bersumpah pada pertiwi maka tebar kembali jaringmu biarkan jangkar kuyup oleh doa seisi lautan; agar aksara suci terpampang pada ujung perahumu (Bangkalan, 13 April 2016)  Demokrasi Musim Fathor Rahman ada yang tunggang langgang mencari wajah angin bergelayangan di rona bulan menanyakan setiap daun yang gugur pada musim yang menanyakan waktu               ada yang bisu memekik hujan               menyamun matahari       ...

RELASI HATI

GURU SEJATI ? PEMBELAJAR SEJATI. MENGABDI UNTUK NEGERI. “Hanya ilmu dari hatilah, yang akan sampai di hati anak-anak didiknya” Mari Belajar, Mari Berbenah J WIDADATUS SA’ADAH           Kutuliskan, pagi itu menatap langit seperti kanvas yang ditumpahi cat biru diselingi arak-arakan awan semurni kapas. Langkah kakiku bersemangat untuk mengikuti kelas mata kuliah Psikolgi Pendidikan yang di ampu oleh Bu Cicik Tri Jayanti, S.Pd. MA.           Hari itu tanggal 30 Oktober 2017 seperti biasa, perempuan dengan kerudung coklatnya yang manis, dihiasi senyum hangat dibibirnya. Ia memberikan pengantar yang menyentuh akal dan nurani. Benar! kata-katanya selalu mengundang , melayani  dengan kasih sayang dan tak henti memberikan inspirasi dan menumbuhkan motivasi dalam diriku.           “SIKOEDUKASI” tuturnya. Sikoedukasi adalah jalinan a...